Kata ‘santri’ kerap disematkan pada
orang yang berguru dan bermukim di pondok pesantren. Meskipun kemudian muncul
istilah santri kalong, yakni sebutan bagi santri yang tidak mondok. Menurut
Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI) edisi keempat, santri artinya 1. orang yang mendalami agama Islam; 2.
Orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; orang yang saleh (Depdiknas,
2014). Bila merujuk pada arti kata tersebut di atas, maka siapa saja yang
belajar dan mendalami ilmu agama secara intens, ia berhak disebut sebagai
santri.
Sejatinya, santri bukan hanya sekedar
label bagi setiap pembelajar di lingkungan pesantren. Santri tercermin dalam
lisan dan perilaku. Ia hidup dan tumbuh dalam sikap keseharian. Seseorang yang
telah dan pernah nyantri (menjadi santri) dalam fase hidupnya, memiliki sikap
dan pola pikir kesantrian. Menyatu dalam diri sehingga menjadi jiwa. Jiwa santri
ini ada dalam setiap pribadi apapun jenis pekerjaannya. Mewarnai dan menjadi
spirit yang tidak bisa dinafikan, baik dalam lingkup kecil maupun dalam
berbangsa dan bernegara.
Maka ketika pada tahun 2015 Presiden
Jokowi mencanangkan hari Santri
Nasional, kita diingatkan kembali bahwa santri tidak bisa dilepaskan dari
perannya dalam perjuangan mempertahankan dan membangun Indonesia. Dan oleh
karenanya spirit itu harus terus dibangun dan diberdayakan, sebagaimana dulu
sejarah mencatat bagaimana kekuatan kaum santri mempertahankan kemerdekaan.
Konon, tanggal 22 Oktober dipilih
sebagai hari Santri Nasional, adalah
untuk memperingati peran besar para kiai dan kaum
santri dalam perjuangannya melawan penjajah yang bertepatan dengan resolusi
jihad. Resolusi jihad dicetuskan oleh pendiri NU yaitu KH. Hasyim Asy’ari pada
tanggal 22 Oktober pada tahun 1945 di Surabaya untuk mencegah dan menghalangi
kembalinya tentara kolonial Belanda yang mengatasnamakan NICA. Momentum itulah
yang dijadikan tonggak bagi pencanangan hari santri. Tentu saja dengan tujuan
dan cita-cita besar untuk mewujudkan Indonesia lebih baik dan berkeadilan dalam
ridlo Allah swt.
Menyerap Spirit Hari Santri
Sejarah adalah
ruh yang bisa memberi nyala harapan serta spirit bagi masa sekarang. Lalu
bagaimana generasi ini menjadikan hari Santri sebagai spirit? Bila belajar dari
sejarah resolusi jihad, paling tidak ada 3 poin yang bisa dicatat, yaitu :
- Tauhid, yakni keyakinan hanya Allah satu-satunya Tuhan yang patut disembah dan dimintai pertolongan.
- Akhlaqul karimah (cinta tanah air, daya juang dan semangat rela berkorban)
- Pantang menyerah dalam menegakkan kebenaran
Ketiga poin itu yang harus kita serap dalam mewujudkan cita-cita
luhur. Ada banyak cara dan jalan yang
bisa ditempuh. Salah satunya adalah dengan pembiasaan dan kembali pada perbaikan akhlaq serta semangat
pantang menyerah. Bukankah Rasulullah saw bersabda “Tidak semata-mata kami
diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlaq”. "Sesungguhnya yang terbaik di antara
kalian adalah yang paling baik akhlaknya." (HR Bukhari dan Muslim). Pembiasaan kaum santri yang pertama adalah membangun akhlaqul
karimah. Santri dalam kesehariannya tidak pernah lepas dari salam, santun,
sapa, hormat kepada guru, senantiasa mengaji, muroja’ah, menjaga wudlu,
mendirikan sholat wajib dan sunat, adalah sebagian hal yang harus senantiasa
dijaga kesinambungannya. Demikianlah dahulu kaum santri digembleng di
pesantren. Maka duplikasi, yang disesuaikan dengan tuntutan keadaan, baik
diterapkan. Pola pembiasaan ini efektif
dilakukan di madrasah, yang saat ini menjadi waktu kedua terbanyak yang
dihabiskan siswa setelah di rumah. Pola pembiasaan, paling tidak, bisa meredam
gempuran dahsyat yang dilakukan gawai dan aneka viturnya, yang menjadi musuh
paling kuat generasi muda saat ini.
Disiplin,
pembiasaan, semangat pantang menyerah serta pendampingan oleh guru dan pembina
akan memberi ruang bagi siswa dan guru dalam berinteraksi secara intens. Dalam
prosesnya mereka akan menemukan siapa dirinya, apa minat dan bakatnya, di mana
harus dilakukan serta bagaimana mengasahnya.
Pada gilirannya kelak akan tumbuh rasa percaya diri siswa dalam
melakukan aktivitas pembelajaran secara keseluruhan. Termasuk terbukanya ruang
berkompetisi dalam skala lokal, regional, nasional hingga internasional. Maka madrasah Hebat Bermartabat yang selama
ini menjadi motto, insya Allah akan terwujud.
Hal itu telah
dicoba dan diterapkan di MTs Negeri 1 Garut.
Dalam prosesnya, beberapa kegiatan membuahkan hasil yang baik. Kalau
tolok ukur keberhasilan adalah penghargaan dan piala, maka sudah tak terhitung piala dipersembahkan oleh para siswa dalam
berbagai bidang. Sedangkan membangun akhlaq, proses ini sedang dan akan terus
berjalan, sebab pembangunan manusia seutuhnya yang berkahlaqul karimah tak akan
pernah berhenti sepanjang hayat dikandung badan. Sepanjang hal itu
diikhtiyarkan, sepanjang itu pula spirit hari santri terus menyala.
Selamat Hari
Santri Nasional …!
0 Comments:
Post a Comment